gif

Minggu, 20 Mei 2012

Budaya dan adat istiadat masyarakat


Selain aktvitas masyarakat di bidang ekonomi, kehidupan masyarakat Desa Pengotan juga cukup disibukkan dengan berbagai upacara adat terkait dengan Yadnya. Masyarakat di desa ini mengelola beberapa pura baik yang dikelola (disungsung) oleh desa maupun oleh kerame di setiap dusun. Khusus untuk pura di dusun Padpadan, selain disusungsung oleh warga banjar Padpadan juga disungsung oleh warga Desa Bayung Gede. Oleh karenannya, Banjar Padpadan disebut banjar bancih.
Karena Desa Pengotan tergolong Desa Bali Age, pelaksanaan upacara adat di desa ini mirip dengan upacara adat di desa Bali kono yang lainnya di Bali dan berbeda dengan upacara di desa pekeraman lainnya di Bali. Misalnya, informasi yang diberikan oleh salah seorang responden (pemuka masyarakat). Dia menyampaikan bahwa upacara “perkawinan dan ngaben” di desa ini dilaksanakan secara masal. Waktunya ditetapkan dua kali setahun oleh pemuka desa adat setempat. Sapi merupakan hewan utama yang dikorbankan pada kegiatan upacara adat di desa ini. Dari aspek jender, masyarakat di sini tergolong patriarhat (mengikuti garis laki-laki). Orang tua lebih mengutamakan anak laki-laki dibandingkan wanita. Perempuan dari desa ini jarang sekali menikah dengan pemuda dari luar desa. Barangkali karena mobilitas mereka sangat terbatas. Akibatnya, perkawinan antar muda-mudi di desa ini cukup menonjol. Kondisi ini juga ditengarai sebagai faktor pendorong terjadinya usia perkawinan dini (antara umur 14-18 tahun). Informasi lainnya tentang aspek jender terkait dengan masalah adat di desa ini dapat disimak ceritra salah satu responden sbb:
“Kalau istri tidak punya keturunan, atau ditinggal mati oleh suaminya, janda yang berumur lanjut ini biasanya dikembalikan oleh keluarga pihak pria ke keluarga pihak perempuan”. Perempuan di sini jarang yang kawin keluar atau mencari pekerjaan di luar desa.Kuatnya ikatan adat sebagai faktor penghambat. Kalau ada gadis desa dari desa ini kawin keluar, pihak mempelai pria harus menyerahkan seekor sapi sebagai mas kawin. Biaya upacara perkawinannya juga cukup mahal, bisa mencapai Rp 10 juta”.

Informan lainnya (bidan Puskesmas yang sudah lama bertugas di desa ini), memberikan informasi dari sudut pandang orang luar tentang pelaksanaan upacara di pura.
“Sikap masyarakat seperti ini kurang mencerminkan kesulitan perekonomian yang dihadapi keluarga. Kondisi ini nampaknya kontradiktif dengan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari”.
Dua informan lainnya di kantor kepala desa memperkuat tentang beban ekonomi terkait dengan pelaksanaan upacara adat di desa mereka.
“Beban ekonomi masyarakat di sini cukup berat melaksanakan ucapara di pura. Karena secara finansial mereka kurang mampu, banyak keluarga di desa ini harus menjual milik mereka seperti sapi dan tanah. Akibatnya, kepemilikan lahan pertanian di desa ini semakin terbatas. Belum lagi, beban ekonomi keluarga akibat orang tuanya memiliki kebiasaan berjudi sabungan ayam”.
Keunikan pelaksanaan upacara adat di desa ini juga nampak pada upacara kematian. Seperti perkawinan, ucapara kematian di desa ini dilakukan secara masal. Di desa ini, jasad orang meninggal hanya ditanam saja, tidak dibakar seperti upacara ngaben di desa pekeraman lainnya di Bali. Kegotong royongan pelaksanaan upacara ngaben dan perkawinan warga di desa ini menunjukkan bentuk kebersamaan masyarakat (gotong royong) yang masih tetap dilestarikan.
Apa yang diceritrakan oleh seorang petugas lapangan membenarkan tentang pelaksanaan upacara kematian di desa ini. Upacaranya berlangsung sangat sederhana – berbeda dengan upacara adat kematian di kota. Jenazah diusung ke tempat pemakaman hanya oleh 4 orang warga, meskipun upacaranya tetap melibatkan semua anggota banjar, bahkan anggota keluarga yang berasal dari banjar lainnya juga ikut. Setelah sebulan jazad orang yang meninggal ditanam, keluarganya melakukan upacara lainnya yaitu “ngotonin” untuk warga yang meninggal tersebut.
Nama Desa Pengotan dipetik dari proposal pemugaran salah satu pura di desa ini. Proposal dipinjam dari kantor kepala desa setempat. Nama desa ini nampaknya dituturkan oleh para orang tua di desa ini secara turun temurun. Sumber ceritanya juga tidak jelas. Ceritanya diringkas sebagai berikut.
“Pada saat zaman kerajaan Bali, ada seorang raja dari kerajaan Buleleng, bernama Gusti Panji Sakti, melakukan perluasan kekuasaannya ke arah selatan. Penyerangan dilakukan sampal ke Desa Pemutran - desa tua, yang terletak di lereng bukit Tuluk Biyu. Sesampainya di desa ini, para hulubalang kerajaan Panji Sakti memukul tambur bende yang menimbulkan suara riuh. Keriuhan suara Bende ini ditujukan untuk menambah semangat juang pasukan kerajaan Buleleng. Dengan kedatangan para penyerang dari utara dengan suara riuh bende yang dipukul bertalu-talu, penduduk lokal Desa Pemutran melarikan diri ke selatan yaitu ke arah hutan. Hutan ini adalah wilayah kerajaan Bangli. Warga yang mengungsi ini diterima oleh raja Bangli dan dijadikan penduduk kerajaan Bangli. Raja Bangli memerintahkan penduduk pengungsi dari Desa Pemutran menetap terus di hutan sebelah utara kerajaan Bangli. Dalam perjalanan kembali menuju hutan, penduduk pengungsi ini menyaksikan banyak sekali pohon lateng yang sangat digemari binatang pengerat - Sebatah. Binatang mengerat ini mengeluarkan serbuk/dedak yang disebut oot. Dari sepotong ceritra mitologi seperti itu, wilayah hutan yang dihuni penduduk pengungsi dari Desa Pemutran ini sekarang bernama “Desa Pengotan”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar