Selain aktvitas masyarakat di bidang
ekonomi, kehidupan masyarakat Desa Pengotan juga cukup disibukkan dengan
berbagai upacara adat terkait dengan Yadnya.
Masyarakat di desa ini mengelola beberapa pura baik yang dikelola (disungsung) oleh desa maupun oleh kerame
di setiap dusun. Khusus untuk pura di dusun Padpadan, selain disusungsung oleh
warga banjar Padpadan juga disungsung oleh warga Desa Bayung Gede. Oleh
karenannya, Banjar Padpadan disebut banjar bancih.
Karena Desa Pengotan tergolong Desa Bali
Age, pelaksanaan upacara adat di desa ini mirip dengan upacara adat di desa
Bali kono yang lainnya di Bali dan berbeda dengan upacara di desa pekeraman
lainnya di Bali. Misalnya, informasi yang diberikan oleh salah seorang
responden (pemuka masyarakat). Dia menyampaikan bahwa upacara “perkawinan dan
ngaben” di desa ini dilaksanakan secara masal. Waktunya ditetapkan dua kali
setahun oleh pemuka desa adat setempat. Sapi merupakan hewan utama yang
dikorbankan pada kegiatan upacara adat di desa ini. Dari aspek jender,
masyarakat di sini tergolong patriarhat (mengikuti garis laki-laki). Orang tua
lebih mengutamakan anak laki-laki dibandingkan wanita. Perempuan dari desa ini
jarang sekali menikah dengan pemuda dari luar desa. Barangkali karena mobilitas
mereka sangat terbatas. Akibatnya, perkawinan antar muda-mudi di desa ini cukup
menonjol. Kondisi ini juga ditengarai sebagai faktor pendorong terjadinya usia
perkawinan dini (antara umur 14-18 tahun). Informasi lainnya tentang aspek
jender terkait dengan masalah adat di desa ini dapat disimak ceritra salah satu
responden sbb:
“Kalau istri
tidak punya keturunan, atau ditinggal mati oleh suaminya, janda yang berumur
lanjut ini biasanya dikembalikan oleh keluarga pihak pria ke keluarga pihak
perempuan”. Perempuan di sini jarang yang kawin keluar atau mencari pekerjaan
di luar desa.Kuatnya ikatan adat sebagai faktor penghambat. Kalau ada gadis
desa dari desa ini kawin keluar, pihak mempelai pria harus menyerahkan seekor
sapi sebagai mas kawin. Biaya upacara perkawinannya juga cukup mahal, bisa
mencapai Rp 10 juta”.
Informan lainnya (bidan Puskesmas yang
sudah lama bertugas di desa ini), memberikan informasi dari sudut pandang orang
luar tentang pelaksanaan upacara di pura.
“Sikap
masyarakat seperti ini kurang mencerminkan kesulitan perekonomian yang dihadapi
keluarga. Kondisi ini nampaknya kontradiktif dengan realitas kehidupan
masyarakat sehari-hari”.
Dua informan lainnya di kantor kepala
desa memperkuat tentang beban ekonomi terkait dengan pelaksanaan upacara adat
di desa mereka.
“Beban
ekonomi masyarakat di sini cukup berat melaksanakan ucapara di pura. Karena
secara finansial mereka kurang mampu, banyak keluarga di desa ini harus menjual
milik mereka seperti sapi dan tanah. Akibatnya, kepemilikan lahan pertanian di
desa ini semakin terbatas. Belum lagi, beban ekonomi keluarga akibat orang
tuanya memiliki kebiasaan berjudi sabungan ayam”.
Keunikan pelaksanaan upacara adat di
desa ini juga nampak pada upacara kematian. Seperti perkawinan, ucapara
kematian di desa ini dilakukan secara masal. Di desa ini, jasad orang meninggal
hanya ditanam saja, tidak dibakar seperti upacara ngaben di desa pekeraman
lainnya di Bali. Kegotong royongan pelaksanaan upacara ngaben dan perkawinan warga di desa ini menunjukkan bentuk
kebersamaan masyarakat (gotong royong) yang masih tetap dilestarikan.
Apa yang diceritrakan oleh seorang
petugas lapangan membenarkan tentang pelaksanaan upacara kematian di desa ini.
Upacaranya berlangsung sangat sederhana – berbeda dengan upacara adat kematian
di kota. Jenazah diusung ke tempat pemakaman hanya oleh 4 orang warga, meskipun
upacaranya tetap melibatkan semua anggota banjar, bahkan anggota keluarga yang
berasal dari banjar lainnya juga ikut. Setelah sebulan jazad orang yang
meninggal ditanam, keluarganya melakukan upacara lainnya yaitu “ngotonin” untuk
warga yang meninggal tersebut.
Nama Desa Pengotan dipetik dari proposal
pemugaran salah satu pura di desa ini. Proposal dipinjam dari kantor kepala
desa setempat. Nama desa ini nampaknya dituturkan oleh para orang tua di desa
ini secara turun temurun. Sumber ceritanya juga tidak jelas. Ceritanya
diringkas sebagai berikut.
“Pada
saat zaman kerajaan Bali, ada seorang raja dari kerajaan Buleleng, bernama
Gusti Panji Sakti, melakukan perluasan kekuasaannya ke arah selatan.
Penyerangan dilakukan sampal ke Desa Pemutran - desa tua, yang terletak di
lereng bukit Tuluk Biyu. Sesampainya di desa ini, para hulubalang kerajaan
Panji Sakti memukul tambur bende yang menimbulkan suara riuh. Keriuhan suara
Bende ini ditujukan untuk menambah semangat juang pasukan kerajaan Buleleng.
Dengan kedatangan para penyerang dari utara dengan suara riuh bende yang
dipukul bertalu-talu, penduduk lokal Desa Pemutran melarikan diri ke selatan
yaitu ke arah hutan. Hutan ini adalah wilayah kerajaan Bangli. Warga yang
mengungsi ini diterima oleh raja Bangli dan dijadikan penduduk kerajaan Bangli.
Raja Bangli memerintahkan penduduk pengungsi dari Desa Pemutran menetap terus
di hutan sebelah utara kerajaan Bangli. Dalam perjalanan kembali menuju hutan,
penduduk pengungsi ini menyaksikan banyak sekali pohon lateng yang sangat
digemari binatang pengerat - Sebatah. Binatang mengerat ini mengeluarkan
serbuk/dedak yang disebut oot. Dari sepotong ceritra mitologi seperti itu,
wilayah hutan yang dihuni penduduk pengungsi dari Desa Pemutran ini sekarang
bernama “Desa Pengotan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar